TIMES BOGOR, TASIKMALAYA – Di tengah maraknya tren wisata alam yang digandrungi generasi muda, khususnya mendaki gunung, muncul kekhawatiran serius dari para pelaku dan pemerhati lingkungan hidup. terutama soal kurangnya edukasi konservasi dan keselamatan pendakian.
Fenomena ini dipicu oleh peran besar media sosial yang kini menjadi alat penyebaran informasi instan. Namun di balik kecepatan arus informasi itu, edukasi mendalam terkait konservasi alam dan keselamatan perjalanan justru kerap diabaikan.
Hal ini disampaikan oleh salah satu tokoh petualang senior Indonesia, Djukardi Adriana atau yang lebih akrab disapa Abah Bongkeng, sosok legenda dalam dunia kepecintaalaman Indonesia dan juga anggota organisasi Wanadri, komunitas pecinta alam bergengsi yang berdiri sejak 1964.
“Sekitar tahun 2015-an, eksistensi kelompok pecinta alam mulai redup. Mereka kalah pamor dengan pendaki pemula yang mengenal alam hanya lewat media sosial. Mereka mendaki karena viral, tanpa tahu apa itu konservasi atau standar keselamatan,” ungkap Abah Bongkeng saat ditemui TIMES Indonesia beberapa waktu lalu di kawasan Hutan Ciherang, Cisayong, Tasikmalaya.
Ia mulai aktif di alam bebas sejak tahun 1969. Dari pengalaman panjangnya, ia melihat bahwa saat ini terjadi pergeseran makna pendakian. Jika dulu mendaki adalah proses panjang penuh edukasi, pembinaan, dan penghormatan terhadap alam, kini pendakian lebih banyak diartikan sebagai aktivitas untuk konten dan eksistensi.
“Zaman dulu, masuk kawasan konservasi itu harus ada SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi). Harus ada perencanaan dan prosedur. Sekarang, asal viral, langsung naik tanpa bekal apa pun,” tambahnya.
Minimnya pengetahuan pendaki pemula mengenai SOP (Standar Operasional Prosedur) pendakian, menurut inisiator Eiger Adventure Service Team (EAST) Indonesia ini bisa berdampak buruk pada banyak hal. Tak hanya pada keselamatan pribadi, namun juga pada kelestarian alam itu sendiri.
“Sampah menumpuk di gunung. Jalur rusak. Angka kecelakaan juga meningkat. Semua ini karena banyak yang naik gunung tanpa tahu dasar-dasar keselamatan,” ujarnya.
Kondisi ini diamini oleh Ketua Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI) Tasikmalaya, Oking Safarudin, yang mencermati fenomena “pendaki fomo” atau fear of missing out di kawasan Gunung Talaga Bodas, Tasikmalaya.
“Jalur pendakian Talaga Bodas dari Cisayong sekarang lagi viral. Tapi mirisnya, pendakinya banyak yang hanya ikut-ikutan. Mereka tidak tahu medan, tidak membawa peralatan yang memadai, dan bekalnya pun minim. Fokus mereka hanya eksis di media sosial,” ujar Oking.
Pendakian tektok yaitu naik dan turun dalam satu hari dianggap aman oleh sebagian pendaki karena tidak perlu bermalam. Namun tanpa persiapan matang, aktivitas ini justru bisa menjadi sangat berbahaya.
Waktu tempuh pendakian Talaga Bodas rata-rata memakan waktu 7 jam pulang-pergi dengan jalur yang menantang dan cuaca tak menentu. “Risiko tersesat, cedera, hingga hipotermia tetap tinggi. Tanpa SOP dan pendataan, ini sangat membahayakan,” jelas Oking, Senin (2/6/2025).
Dalam situasi yang semakin ramai dan viral seperti saat ini menurit Oking keberadaan regulasi dan sistem pengelolaan pendakian menjadi hal yang mendesak. Oking menyarankan perlunya dibangun pos pendakian resmi, sistem pendataan pendaki, serta edukasi tentang SOP keselamatan dan pelestarian lingkungan.
“Jangan sampai kita hanya bangga destinasi alam kita viral, tapi tidak punya sistem pengelolaan yang baik. Yang terjadi nanti, gunung kita rusak, pendaki celaka, dan kita yang disalahkan,” tandasnya.
Ironinya, informasi soal SOP pendakian, perlengkapan standar, teknik survival, hingga prinsip Leave No Trace kini dengan mudah diakses lewat media sosial atau YouTube. Namun informasi tersebut seringkali hanya dijadikan referensi konten, bukan untuk diterapkan.
“Klik like, scroll, lalu naik gunung. Begitu mudahnya pendaki hari ini mengambil keputusan, tanpa berpikir panjang. Padahal satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal di alam bebas,” ucap Pare, seorang anggota KAMAPALA STIA Tasikmalaya kepada TIMES Indonesia.
Pare menambahkan pendakian bukan sekadar soal foto estetik di puncak, tapi perjalanan yang menuntut tanggung jawab terhadap diri sendiri, kelompok, dan alam. Maka, edukasi harus menjadi fondasi utama sebelum seseorang memutuskan untuk mendaki.
“Kalau kita cinta alam, ya rawat. Kalau kita mau viral, ya bijak. Karena alam bukan tempat bermain-main,” pungkas Pare. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Tren Mendaki Gunung di Era Digital, Konservasi dan Keselamatan Cenderung Diabaikan
Pewarta | : Harniwan Obech |
Editor | : Ronny Wicaksono |