TIMES BOGOR, BOGOR – Aspek emosional sangat memengaruhi faktor keberuntungan kita dalam hidup. Ada banyak variabel yang terkandung dalam keberuntungan tersebut, antara lain kebahagiaan, kecerdasan, dan kepekaan. Tidak ada manusia yang dilahirkan di dunia ini kecuali dengan naluri hidup bersosial.
Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana manusia saling membangun kehidupan sosial mereka? Ternyata jawabannya terdapat pada aspek yang dimulai dari dalam diri tiap individu, yaitu emosional.
Pengendalian emosional harus dilakukan secara bijak. Maka dari itu, psikolog masyhur Daniel Goleman menyebutnya dengan terminologi khusus dan menjadikannya sebagai judul bukunya “Emotional Intelligence”.
Dia sempat menghebohkan para psikolog dan akademisi lainnya sejak kemunculan buku tersebut pada tahun 1995, sebab Goleman mencoba mendefinisikan ulang arti kecerdasan.
Menurutnya, pengelolaan emosional merupakan poin vital eksistensi dan keberlanjutan hidup seseorang. Di dalam otak manusia terkandung dua kecerdasan yang bertolak belakang namun saling bekerja sama, yaitu kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional.
Selanjutnya, Goleman mengatakan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) hanya berkontribusi sekitar 20% pada kesuksesan seseorang, sedangkan 80% sisanya dipengaruhi faktor lain, seperti kecerdasan emosional.
Pernyataan Goleman dapat dibenarkan apabila melihat realita saat ini. Fakta saat ini membuktikan bahwa telah banyak orang yang berpendidikan tinggi namun beretika rendah. Hampir seluruh pelaku kejahatan tingkat menengah ke atas, misal korupsi dan penyalahgunaan kewenangan merupakan kaum terpelajar.
Dari sini kita bisa mengamati perilaku mereka hanya manipulasi untuk mengambil keuntungan lebih dari kesempatan memiliki hak istimewa dalam kedudukan sosial. Mereka yang berbuat demikian telah gagal mengendalikan dirinya secara emosional.
Ajaran Islam
Islam sebagai agama yang penuh petunjuk dan peringatan telah hadir lebih jauh mengenai kecerdasan emosional. Bahkan, secara spesifik Rasulullah menggolongkan orang-orang yang mampu mengendalikan dirinya merupakan definisi cerdas yang sesungguhnya.
Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Orang yang cerdas adalah yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan terhadap Allah.”
Hawa nafsu dapat diartikan lebih luas sebagai hasrat diri untuk lepas kendali. Hal ini senada dengan maksud kontrol emosional diri. Bahkan, Rasulullah menegaskan sebaliknya bagi mereka yang terlalu mudah lepas kendali, maka mereka termasuk golongan yang lemah akalnya.
Kesinambungan antara akal dan hati inilah sebagai titik pertemuan kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional. Dalam Islam, orang yang memiliki kepekaan hati sangat tajam disebut sebagai ulul albab, sedangkan bagi yang mempunyai ketajaman akal disebut sebagai ulul abshar.
Al-Qur’an sangat memuliakan posisi ulul albab dan ulul abshar. Mereka yang disematkan ke dalam kedua golongan tersebut memiliki kebiasaan secara reflektif untuk berpikir dan berdzikir. Akal yang berpikir dan hati yang berdzikir menjadi faktor ketenangan hidup sesuai ajaran Islam.
Pengendalian Emosional
Ada titik temu antara pandangan Goleman dan ajaran Islam dalam perspektif kecerdasan emosional. Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 134 termaktub petunjuk yang berbunyi, “Dan orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.”
Kondisi jiwa yang meletup dan tidak bisa dikendalikan hanya akan menimbulkan amarah. Amarah yang meledak akan berakibat buruk pada diri sendiri dan orang lain. Lebih dari itu, di dalam Al-Qur’an lebih menekankan memaafkan terlebih dahulu dari pada meminta maaf.
Islam mengajarkan kepada kita supaya manusia bertindak sebagai pemantik positif. Meski begitu, bukan berarti tidak meminta maaf, apalagi ketika mempunyai kesalahan. Secara nurani, orang yang masih punya perasaan akan meminta maaf kepada orang lain ketika merasa tidak memperlakukannya secara baik.
Pada akhirnya, kebijaksanaan dalam mengelola emosional akan membantu seseorang menemukan keberuntungannya. Dengan satu syarat implikasi keharmonisan rasional dan emosional terpenuhi, yaitu menghasilkan ketentraman sosial. Sebab, tujuan dari kecerdasan emosional adalah membentuk karakter insan kamil, bermanfaat bagi orang banyak. (*)
***
*) Oleh : Abdurrahman Ad Dakhil, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Siti Dhumillah Bogor.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |