https://bogor.times.co.id/
Opini

Ketika Hukum dan Politik Bersekutu

Kamis, 11 September 2025 - 11:55
Ketika Hukum dan Politik Bersekutu Muh. Asdar Prabowo, Mahasiswa Magister Strategi Perang Semesta Fakultas Strategi Pertahanan, Universitas Pertahanan Republik Indonesia.

TIMES BOGOR, BOGOR – Hari demi hari krisis kepercayaan kian membelit negeri ini. Hal tersebut tidak terjadi secara alami, melainkan banyak penyebab. Mulai dari permasalahan yang timbul dari Legislatif, Eksekutif, hingga Yudikatif sebagai pilar negara. Ini menjadi satu ironi bagi institusi negara yang terus menggantung di langit republik. 

Montesque dengan trias politica -nya bermaksud memisahkan kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif bukan semata hanya memisahkan, melainkan ingin menciptakan keseimbangan (Check and Balance) sehingga tidak ada kekuasaan yang absolut. Namun apa jadinya jika kekuasaan tersebut bersekutu?

Kita pahami bahwa Indonesia adalah negara dengan sistem presidensial di mana Presiden yang menjadi kepala pemerintahan sekaligus pemimpin negara. Namun kekuasaan nya diawasi dan dibatasi oleh konstitusi agar dapat menjamin hak-hak dasar warga negaranya (UUD 1945). 

Bisa dipahami bahwa konstitusi merupakan dasar hukum tertinggi negara namun fenomena hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas  bukan lagi keluhan lama. Ia telah menjadi pola, bahkan sistem.

Rakyat sebagai manifestasi suara perwakilan-penguasa sering kali digiring kedalam wacana kesejahteraan melalui kebijakan yang bersifat politis, hukum yang bersifat tidak tetap. Sementara pejabat yang bergaji jutaan, bahkan milyaran masih bisa tertawa dan tersenyum di kursi goyang nya dibalut dengan jas mewah, serta menyapa di media seolah sudah memikirkan kesejahteraan rakyat yang belum tercapai.

Hukum dikotomi kepentingan politik 

Setiap warga negara seharusnya sama dimata hukum sehingga membutuhkan prinsip kesetaraan agar hukum dapat ditegakkan tanpa kompromi, negosiasi, serta tanpa pandang bulu terhadap golongan tertentu. 

Begitulah prinsip equality before the law bekerja. Apabila prinsip kesetaraan itu tidak ada, maka legitimasi masyarakat terhadap hukum akan melemah dan justru memperburuk ketimpangan sosial dan politik. 

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum sudah menjadi realitas bukan hanya sekadar anomali. Ini merupakan bentuk rusaknya korelasi kekuasaan dan keadilan yang sudah terjalin. 

Hukum acapkali dijadikan sebagai alat negosiasi kepentingan politik semata, seringkali dipelintir sebagai alat yang gunakan untuk melayani elite politik dan menjadikan keadilan sebagai bahan dagangan sehingga jauh sebagai prinsip.

Beberapa kasus seperti abolisi Hasto Kristiyanto dan amnesti Tom Lembong menjadi contoh kasus yang dapat berdampak pada pelemahan hukum. Secara sederhana abolisi merupakan proses pengampunan atau penghapusan dari tuntutan hukum. 

Sedangkan amnesti pengampunan hukum dari pemerintah dalam artian presiden. Kedua hal tersebut memiliki makna yang tidak jauh berbeda namun sama-sama dapat menyebabkan pelemahan hukum. 

Kini ditambah dengan kasus wakil menteri ketenagakerjaan yakni Imanuel Ebinezs yang terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK. Ironisnya dengan terbuka meminta amnesti dari presiden Prabowo. 

Dengan kasus ini menggambarkan bahwa jika hal tersebut di penuhi oleh presiden Prabowo akan memperjelas praktek tumpang tindih hukum yang ada di Indonesia. Berkaca dengan kasus Hasto dan Tom Lembong banyak kritikan muncul dari masyarakat terkait praktek melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah (presiden) dengan menggunakan hak prerogatif nya. 

Jika hal diatas terjadi maka kemungkinan proses intervensi terhadap independensi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi terjadi. Padahal kasus korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan harus ditindak tegas. 

Sehingga hal-hal seperti ini harus dipertimbangkan oleh Presiden Prabowo sebagai eksekutif agar trust masyarakat kepada pemerintah tidak mengalami krisis keberlanjutan yang berujung perpecahan.

Tergerusnya Demokrasi dan Rakyat Menjadi Korban

Hukum ada karena bagian dari politik, namun jika kedua hal tersebut bersekutu hanya untuk kepentingan elite maka akan berdampak destruktif terhadap demokrasi. Relasi antara kekuasaan dan masyarakat seringkali memunculkan paradoks. Dari sisi demokrasi merupakan sumber kedaulatan rakyat, disisi lain dalam praktik politik menggambarkan dominasi segelintir elite. 

Gaetano Mosca, seorang ilmuwan Italia memiliki analisis klasik tentang elite. Ia menjelaskan bahwa mau seperti apapun potret pemerintahan nya tidak akan terlepas dari dominasi segelintir elite yang memerintah daripada mayoritas yang diperintah. Ini berbicara tentang siapa yang memiliki pengaruh terhadap sistem, baik secara politik, ekonomi, sosial maupun hukum. 

Dalam konteks Indonesia, seringkali dihadapkan dengan kekuasaan yang tidak dapat tersentuh oleh masyarakat dalam demokrasi, entah itu berkaitan dengan kebijakan Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif. 

Memang dalam teori elite Mosca menjelaskan bahwa di dalam elite terdapat sirkulasi elite dalam artian proses pergantian kekuasaan memang terjadi tapi hanya di ranah lingkaran kecil sehingga mayoritas rakyat masih berada dalam genggaman yang diperintah.

Baru-baru ini aksi unjuk rasa kembali mencuat akibat berbagai isu, misalnya kenaikan pajak, upah guru dan buruh, tidak disahkannya RUU Perampasan Aset sampai dengan isu pembubaran DPR. 

Memang DPR tidak bisa dibubarkan begitu saja karena harus melalui proses panjang namun ini simbol frustasi publik terhadap wakil-wakilnya yang mendapatkan hak istimewa dalam hal tunjangan tapi dianggap tidak sesuai dengan performanya sebagai representasi masyarakat.

Ini menjadi ancaman serius yang memungkinkan perpecahan terjadi antara sesama anak bangsa. Gaungan aspirasi mahasiswa dan masyarakat atas kebijakan yang keliru menimbulkan polemik karena pembungkaman. 

Seharusnya demokrasi menjadi ajang penyampaian aspirasi yang argumentatif malah menjadi ajang bentrok antara massa aksi dengan pihak aparat keamanan bahkan sampai dengan penculikan massa aksi karena berujung chaos.

Situasi ini menunjukkan betapa masyarakat semakin terfragmentasi. Konflik politik, serta pudarnya kepercayaan terhadap lembaga negara membentuk jurang sosial. Ketika hukum dilihat hanya sebagai milik segelintir elit, kepercayaan rakyat kepada negara pun surut sedikit demi sedikit.

Jalan Menuju Rekonsiliasi Hukum dan Politik

Praktik hukum yang dipolitisasi menumbuhkan budaya permisif terhadap pelanggaran. Jika elite bisa lolos dari jeratan hukum, maka masyarakat pun akan menormalisasi perilaku menyimpang. 

Situasi ini menciptakan lingkaran setan, hukum kehilangan wibawa, politik semakin dominan, dan moral bangsa terkikis.

Bangsa terkoyak oleh meningkatnya kesenjangan sosial. Ketidakadilan hukum memperlebar jurang antara yang berkuasa dan rakyat biasa. 

Kesenjangan ini bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga soal akses terhadap keadilan. Pada akhirnya, rakyat miskin yang seharusnya dilindungi hukum justru menjadi korban dari sistem yang timpang.

Meski demikian, ironi ini tidak boleh dianggap sebagai jalan buntu. Justru, kondisi ini harus dibaca sebagai alarm untuk memperkuat kembali independensi hukum dan etika politik. Revisi sistem hukum harus dilakukan dengan menempatkan prinsip akuntabilitas dan transparansi sebagai fondasi utama. 

Di sisi lain, pendidikan politik masyarakat perlu ditingkatkan agar rakyat mampu mengawasi praktik-praktik penyalahgunaan hukum dan politik.

Hukum tidak boleh menjadi alat politik, dan politik tidak boleh mendikte hukum. Keduanya harus kembali pada fungsi asli hukum sebagai penjaga keadilan, politik sebagai arena untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. 

Jika sinergi sehat ini bisa diwujudkan, maka bangsa tidak lagi terjebak dalam ironi, melainkan melangkah menuju cita-cita keadilan sosial yang sesungguhnya.

 

***

*) Oleh : Muh. Asdar Prabowo, Mahasiswa Magister Strategi Perang Semesta Fakultas Strategi Pertahanan, Universitas Pertahanan Republik Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bogor just now

Welcome to TIMES Bogor

TIMES Bogor is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.