https://bogor.times.co.id/
Opini

"Mikul Dhuwur Mendhem Jero" dalam Memahami Perbedaan

Sabtu, 06 Desember 2025 - 18:31
Sugiyarto, S.E., M.M., Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pamulang Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Manajemen Universitas Pakuan Bogor.

TIMES BOGOR, BOGOR – Presiden Republik Indonesia ke-2, Soeharto, akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2025. Keputusan ini memunculkan dinamika publik: ada yang mendukung, ada yang menolak. Itu wajar. 

Namun dalam menilai sosok yang telah berkontribusi bagi perjalanan bangsa selama 32 tahun memimpin Indonesia, rasanya lebih bijak jika kita menempatkan pikiran pada ruang yang proporsional mengakui kebaikan tanpa menutup mata terhadap kekurangan.

Dalam filosofi Jawa terdapat ungkapan mikul dhuwur mendhem jero mengangkat tinggi martabat seseorang dengan menjaga kehormatan dan menyembunyikan kekurangannya. Prinsip ini bukan ajakan untuk melupakan sejarah, melainkan tuntunan etika dalam menghormati manusia secara adil. 

Hampir semua agama, termasuk Islam, memberikan pesan serupa: memandang kebaikan orang lain dan tidak menjadikan kekurangan sebagai alasan untuk meniadakan jasa.

Bagi keluarga yang ditinggalkan, tentu ada harapan agar perjuangan leluhur mereka tidak direndahkan. Negara pun tidak gegabah. Pemerintah memiliki mekanisme seleksi yang ketat dan kajian panjang sebelum menyematkan gelar pahlawan nasional, seperti halnya ketika penghargaan serupa diberikan kepada Marsinah dan tokoh bangsa lainnya. Pengakuan negara bukan berarti menghapus ruang kritik, namun merupakan bentuk penghormatan atas kontribusi yang telah nyata.

Tak mudah memimpin bangsa sebesar Indonesia dengan 38 provinsi dan ratusan etnis. Mustahil semua pihak akan selalu puas. Tidak ada pemimpin tanpa cela. Namun sebagai anak bangsa, kedewasaan kita diuji: apakah kita akan terus terjebak dalam konflik masa lalu, atau move on demi melangkah bersama ke depan? Bangsa ini tidak akan pernah menjadi besar selama kita saling memusuhi hanya karena perbedaan sikap terhadap figur sejarah.

Indonesia memiliki potensi pasar besar sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia. Karena itu, perubahan kebijakan ekonomi sering kali mengganggu kenyamanan sebagian kelompok, terutama pelaku usaha yang sudah mapan. 

Tidak mengherankan jika para pemimpin yang membawa ide perubahan sering menjadi sasaran tekanan, bahkan upaya penyesatan narasi publik. Bukan tidak mungkin, presiden-presiden berikutnya termasuk Prabowo juga akan menghadapi dinamika serupa.

Akar persoalan ekonomi kita tidak terletak pada figur pemimpin, tetapi pada lemahnya fundamental industri manufaktur. Pertumbuhan investasi yang stagnan berpengaruh pada rendahnya kemampuan daya beli masyarakat. 

Kesenjangan sosial pun melebar. Dalam kondisi tersebut, pihak-pihak yang tidak menginginkan Indonesia kuat secara industri memanfaatkan keadaan untuk menghambat perubahan.

Hilirisasi sumber daya alam yang dimulai pada era Jokowi merupakan langkah strategis agar Indonesia tidak selamanya menjadi eksportir bahan mentah. Agenda ini seharusnya terus diperkuat di masa pemerintahan berikutnya, sambil memperbaiki kekurangan yang masih ada. 

Begitu pula hilirisasi sektor pertanian yang mulai dicanangkan oleh Menteri Pertanian. Industrialisasi pangan penting agar Indonesia tidak bergantung pada negara lain untuk kebutuhan dasar warganya.

Pada titik ini kita kembali pada makna kepahlawanan. Pahlawan tidak selalu mereka yang mengangkat senjata di medan perang. Pahlawan adalah siapa pun yang mengabdikan hidupnya untuk kepentingan bangsa, bahkan mengorbankan kenyamanan pribadi dan keluarga. Indonesia memiliki banyak sosok seperti itu, hanya saja tidak semuanya terdokumentasi atau dikenal publik.

Di era teknologi digital, jejak dan rekam seseorang dapat ditelusuri dengan mudah, tetapi informasi yang beredar juga sangat rentan dipelintir. Karena itu kita dituntut matang dalam menyikapi informasi. 

Dalam ajaran Islam, manusia diperintahkan untuk memperbanyak kebaikan serta melihat kebaikan orang lain agar penilaian tetap objektif. Perdebatan berkepanjangan tanpa manfaat hanya membuang energi bangsa.

Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Bencana di Aceh membutuhkan empati dan gotong royong kita semua. Sementara itu, masyarakat sudah lelah dengan drama politik, pertikaian kepentingan, dan dendam masa lalu yang diwariskan ke generasi berikutnya. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar saling mengenal, bukan saling membenci.

Saatnya energi bangsa diarahkan untuk membangun, bukan meruntuhkan. Menghormati para tokoh, termasuk Soeharto dengan segala kelebihan dan kekurangannya, adalah bagian dari kedewasaan kita sebagai bangsa besar yang ingin terus melangkah ke depan.

***

*) Oleh : Sugiyarto, S.E., M.M., Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pamulang Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Manajemen Universitas Pakuan Bogor.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bogor just now

Welcome to TIMES Bogor

TIMES Bogor is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.