TIMES BOGOR, BANDUNG – Sarinah adalah perempuan yang membantu mengurusi urusan domestik di keluarga Soekarno. Namun, Soekarno melihat Sarinah bukan perempuan yang hanya mengurusi urusan domestik saja. Sarinah lah yang mengisi jiwa dan hati Soekarno.
Oleh karena itulah, Soekarno sendiri mengagumi sosok Sarinah tersebut. Bahkan Soekarno membuat buku dengan judul “Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia”.
Soekarno berkata “Apa sebab saya namakan buku ini Sarinah ? Saya namakan buku ini Sarinah sebagai tanda terimakasih saya kepada pengasuh saya ketika saya masih kanak-kanak. Pengasuh saya ini bernama Sarinah. Ia mbok-mbok saya, ia membantu ibu saya dan dari dia saya menerima banyak rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya menerima banyak pelajaran mencintai orang kecil. Dia sendiri pun orang kecil, tetapi budinya selalu benar, moga-moga Tuhan membalas kebaikan Sarinah itu”.
Soekarno yang kita kenal sebagai seorang tokoh proklamator, gagah dan berani menentang serta mengusir kaum penjajah dari muka bumi Nusantara, ternyata sosok Soekarno juga merupakan sosok feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Hal ini terlihat dari penghormatan yang luar biasa Soekarno kepada Sarinah dan mengantarkannya untuk memperjuangkan hak perempuan Indonesia.
Diinformasikan dalam Majalah Api Islam tahun 1965, bahwa gambaran dari sosok perempuan bernama Sarinah adalah perempuan yang tidak mengenal lipstick, kukunya juga tidak pernah memakai kotex, kulitnya tidak pernah memakai sabun. Artinya Sarinah adalah seorang perempuan desa yang sederhana, terbilang miskin namun hatinya bagaikan raja. Sarinah adalah wanita biasa tetapi jiwanya luar biasa.
Sarinah telah berjasa dalam usaha menegakkan kepribadian Indonesia dengan mengisi jiwa Soekarno. Dimasa kanak-kanak, Soekarno diasuh oleh Sarinah dan inilah yang banyak memberi “bumbu” kepada jiwa Bung Karno mengenai rasa cinta dan kasih.
Maka revolusi Indonesia yang digembor-gemborkan Presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin harus berterimakasih kepada Sarinah. Karena telah berjasa mengisi jiwa Soekarno dengan cinta dan kasih, sebagaimana tindakan dan perbuatan Soekarno yang selalu berpegang cinta dan kasih kepada rakyat Indonesia. Karena Sarinah lah Bung Karno memiliki rasa cinta dan kasih kepada rakyat kecil yang melarat.
Lalu sebetulnya konsep keadilan gender sudah disuarakan oleh Presiden Soekarno, khususnya yang tergambar dalam buku Sarinah tersebut. Soekarno mengemukakan bahwa;
“Alangkah baiknya mayarakat yang sama adil didalam hal ini. Yang sama adil pula didalam segala hal yang lain-lain. Saya akui, adalah perbedaan yang fundamentalis antara lelaki dan perempuan. Perempuan tidak sama dengan laki-laki, laki-laki tidak sama dengan perempuan. Itu tiap-tiap hidung mengetahuinya. Lihatlah perbedaan antara tubuh perempuan dengan tubuh laki-laki; anggota-anggotanya lain, susunan anggotanya lain, fungsi-fungsi anggotanya (pekerjaannya) lain. Tetapi perbedaan bentuk tubuh dan susunan tubuh ini hanyalah untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat alam, yaitu tujuan mengadakan turunan, dan memelihara turunan itu. Untuk kesempurnaan tercapainya tujuan alam ini, maka alam mengasih anggota-anggota tubuh yang spesial untuk fungsi masing-masing. Dan hanya untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat alam ini, alam mengasih fungsi dan alat-alat ke-“lakilakian” kepada laki-laki dan mengasih fungsi serta alat-alat ke- “perempuan” kepada perempuan: buat laki-laki: memberi zat anak: buat perempuan: menerima zat anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak. Tetapi tidaklah perbedaan-perbedaan ini harus membawa perbedaan-perbedaan pula didalam perikehidupan perempuan dan laki-laki sebagai makhluk-masyarakat.”
Ia menegaskan perbedaan laki-laki dan perempuan hanya pada tubuh dan kodratnya masing-masing. Perbedaan ini tidak boleh dibawa pada aspek-aspek lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bahkan dalam beragama yang nantinya akan melahirkan ketidak adilan gender.
Bahkan dalam buku Sarinah tersebut, lebih jauh Soekarno menerangkan dengan tegas mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
“bahkan terhadap fungsi-kodrat dari kaum perempuan yang kita bicarakan tadi itu, yakni fungsi menjadi ibu. Menerima benih anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak, terhadap fungsi kodrat inipun dunia laki-laki masih kurang menghargakan kaum perempuan! Orang laki-laki membusungkan dadanya, seraya berkata; kita, kaum laki-laki, kita maju ke medan peperangan, kita berani menghadapi bahaya-bahaya yang besar.”
Apakah yang perempuan perbuat ?
Orang laki-laki mengunggulkan laki-lakinya menghadapi maut, mengagul-agulkan jumlah jiwa laki-laki yang mati guna keperluan sejarah. Tiap-tiap ibu dapat menerangkan, bahwa melahirkan anak itulah yang sangat berbahaya di sepanjang hidup seorang manusia.
Tiap-tiap ibu pernah menghadapi maut setidaknya satu kali dalam hidupnya, yakni pada waktu melahirkan anak. Sudahkan kita pernah merasakan nafasnya maut yang dingin itu menyilir dimuka kita ? Orang laki-laki! Ia selalu menghina saja kepada kaum perempuan.
Ia menertawakan perempuan yang hamil. Ia meremehkan arti melahirkan bayi. Ia tak ingat bahwa ia sendiri adalah hasil dari kesengsaraan dan kepedihan ibunya yang bertahun-tahun.
Buku Sarinah ini pertama terbit pada November 1947, tapi Soekarno sudah lantang menyuarakan kesetaraan laki-laki dengan perempuan. Bahkan Soekarno sendiri mengkritik dengan tajam mengenai superioritas laki-laki dan budaya merendahkan kaum perempuan.
Keadilan gender terus disuarakan oleh Soekarno. Laki-laki tidak berhak menindas perempuan, begitupun sebaliknya. Soekarno tegas menuliskan bahwa;
“Tak sehatlah masyarakat itu, manakala salah satu pihak menindas kepada yang lain, tak perduli pihak yang mana yang menindas dan tak peduli pihak yang mana yang tertindas. Masyarakat itu hanyalah sehat, manakala ada perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan, yang sama tengahnya, sama beratnya, sama adilnya.”
Hal ini menguatkan pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir bahwa keduanya (laki-laki dan perempuan) adalah sama-sama subjek yang setara.
Bahkan Soekarno juga dalam bukunya berjudul Sarinah juga menuliskan perihal beban ganda seorang perempuan.
“Adakah ini berarti, bahwa hidup si kuli perempuan atau si tani perempuan yang tidak sangat terikat kepada rumah tangga sudah boleh dikatakan enak ? Ah, perempuan marhaen. Ah, Sarinah. Pulang dari berkuli di pabrik atau di kebun pulang dari berdagang di pekan yang kadang-kadang berpuluh kilometer itu, masih menunggu laki kepada mereka di rumah pekerjaan buat sang suami dan sang anak. Masih menunggu pada mereka lagi pekerjaan menanak nasi, mencuci pakaian, mencari kayu bakar, memasak gulai, sang suami habis kerja merebahkan dirinya di balai-balai, tunggu di panggil makan , tetapi sarinah habis kerja di luar rumah masih adalah kerja lagi baginya di dalam dapur atau di dekat sumur. Bagi laki-laki adalah “kerja delapan jam sehari” atau “kerja sepuluh jam sehari”. Tetapi bagi Sarinah jaman sekarang ini, hidup adalah berarti keluh kesah terus menerus, gangguan pikiran terus menerus, dari fajar menyingsing sampai di tengah malam”.
Beban ganda ini termasuk pada bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Beban ganda yang dimaksud adalah sepasang suami-istri yang sama-sama bekerja di sektor publik namun hanya istri yang hanya memiliki peran dalam sektor domestik. Padahal Soekarno sendiri mengharapkan adanya kerjasama dalam kehidupan rumah tangga, khususnya dalam urusan domestik tersebut.
Adanya pandangan dan kecenderungan Presiden Soekarno dalam memperjuangkan hak-hak perempuan tidak lain karena adanya sosok Sarinah yang berjasa mendidik jiwa dan hati seorang Soekarno.
Maka dalam fakta historis ini penulis hanya ingin menegaskan bahwa konsep keadilan gender dan feminisme yang kita sedang perjuangkan sudah sesuai dengan pandangan founding fathers bangsa Indonesia.
***
*) Oleh: Andri Nurjaman, M. Hum. (Pendidik & Akademisi)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |