TIMES BOGOR, YOGYAKARTA – Konflik Pulau Rempang sebenarnya merupakan kasus terulang. Jauh sebelum peristiwa di Pulau Rempang, di belahan daerah lain ada gerakan penolakan tambang pasir di Selok Awar-Awar, Pasirian, Lumajang, Jawa Timur. Protes tersebut lantaran sawah milik petani tergusur. Gara-gara proyek penambangan pasir.
Protes yang dilakukan petani berujung kematian. Salah satu warga tewas. Namanya Salim Kancil. Akibat disiksa sekelompok orang yang mendukung perusahaan penambang pasir. Meninggalnya Salim Kancil, sempat menghebohkan publik secara nasional.
Kasus lain yang ramai dibicarakan pada ranah publik adalah perlawanan terhadap penambangan karts sebagai bahan baku semen. Keberatan petani berasal dari Suku Samin yang memiliki lahan di sekitar Pegunungan Gendeng dipicu penambangan karts menyebabkan kerusakan lingkungan dengan ditandai hilangnya sumber air.
Dampak dari manfaatnya sumber air adalah kekeringan mengancam warga Suku Samin. Bagi warga Suku Samin. Satu-satunya aktivitas yang bisa dikerjakan adalah menjadi petani. Mereka tidak memiliki keahlian lain. Mereka semata-mata menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam. Sehingga ketiadaan air memaksa petani berhenti bekerja menjadikan tidak mempunyai penghasilan lagi.
Dan selebihnya bagi Suku Samin, menjadi petani bukan hanya sekedar pekerjaan. Tetapi berkaitan dengan nilai dan keyakinan menjaga bumi. Bagi Suku Samin bumi merupakan "ibu" yang harus dijaga kelestariannya. Maka dapat dipahami warga Suku Samin menentang penambangan karts karena memupus mata pencaharian, menghancurkan nilai, keyakinan dan kultur yang sudah dilestarikan secara turun temurun.
Kasus serupa menyeruak di pesisir Kulon Progo, Yogyakarta. Petani berdemonstrasi dalam jangka waktu lama sebagai upaya melindungi lahan pantai dari pengambil alihan oleh perusahaan tambang pasir besi. Lahan berpasir yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian memiliki kandungan biji besi berkualitas tinggi. Potensi ini menjadikan kawasan pesisir Kulon Progo disasar sebagai proyek penambangan pasir besi.
Rencana tambang pasir besi itu. Tentu saja mendapat ketidak setujuan dari petani. Perlindungan terhadap lahan berpasir oleh petani dapat dimengerti karena bertahun-tahun mereka mengelolanya dengan tekun. Buah dari ketekunan membuat kondisi perekonomian petani menjadi lebih sejahtera.
Kemakmuran petani dapat terwujud melalui proses. Semula lahan pantai Kulon Progo merupakan lahan tandus. Hanya ditumbuhi rerumputan dan ilalang. Pada suatu ketika, ada salah satu warga menemukan tanaman cabe tumbuh subur di lahan berpasir. Melihat tanaman cabe berbuah di lahan pasir menstimulasi ide membudidayakannya.
Kegigihan mengelola lahan berpasir yang dijalankan oleh petani mencapai keberhasilan. Daerah pesisir Kulon Progo terkenal sebagai sentral cabe. Bukan hanya cabe. Petani mengembangkan komoditas lain, yaitu bawang merah, semangka, dan melon.
Kreatifitas petani melakukan diversifikasi budidaya tanaman merupakan berkah. Buktinya petani di sini. Semula berada di bawah garis kemiskinan. Kehidupannya berubah. Memperoleh kesejahteraan lebih baik dibanding desa-desa sekitar.
Di tengah petani pesisir Kulon Progo menikmati kesuksesan. Ada rencana proyek penambangan pasir besi. Proyek ini ditentang oleh petani. Mereka mendirikan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo sebagai komunitas menyuarakan aspirasi menolak tambang pasir.
Demontrasi merupakan wujud gerakan melawan tambang pasir. Bukannya tanpa resiko. Terjadi konflik vertikal maupun horizontal. Konflik ini menyebabkan salah satu warga dikriminalisasi berujung pada jeruji besi. Dipenjara.
Meski ada kriminalisasi tekat petani tetap membara. Terus memperjuangkan lahan pesisir sebagai lahan pertanian. Keinginan kuat mempertahankan lahan pertanian di pesisir Kulon Progo berpondasi pada bertani merupakan tujuan mulia menjaga kelestarian lingkungan, memelihara warisan leluhur, dan mewariskan pada generasi masa depan.
Maka bagi petani, menanam di lahan pantai merupakan bagian dari ruang hidup yang perlu dipelihara secara terus menerus. Realitas ini mendorong mereka punya nyali melawan kebijakan penambangan pasir besi di wilayahnya.
Peristiwa sama terjadi di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Peristiwa ini masih hangat. Dan belum tuntas penyelesainnya. Konflik di Wadas bisa ditelusuri dari sebagian besar warga menggantungkan hidup secara turun temurun di “tanah surga.” Mengapa disebut sebagai “tanah surga”?
Lahan mereka yang berada di kawasan hutan memiliki landscape pegunungan. Tumbuh subur berbagai jenis tanaman multikultur. Seperti jenis palem, kemukus dan vanili. Jenis tanaman buah-buahan seperti durian juga tumbuh dengan baik. Bukan hanya jenis tanaman tersebut, sayur-sayuran menjadi andalan mengais rezeki bagi warga Wadas. Kekayaan alam yang melimpah ini merupakan anugerah dari Sang Pencipta berguna menopang warga wadas mempunyai kehidupan layak.
Ketenangan warga Wadas terusik, saat mengetahui “tanah surga” dieksploitasi demi kepentingan pembangunan Bendungan Bener. “Tanah surga” ini dikeruk dan diambil batunya. Batu yang berhasil ditambang dari “tanah surga” dimanfaatkan sebagai material untuk menyelesaikan proyek Bendungan Bener.
Kegiatan penambangan di tanah surga itu ditolak oleh warga. Penolakan dengan pertimbangan tak mau kehilangan lahan. Bila lahan tidak jadi miliknya, ada dampak serius menimpa warga. Mereka jatuh dalam jurang kemiskinan. Karena warga tak bisa bertani lagi. Hal ini tak mau menerpa warga. Maka motivasi mempertahankan lahan menguatkan aksi melawan penambangan batu di desanya.
Akhir-akhir ini. Kasus masih berlangsung dan menjadi viral. Yaitu peristiwa penggusuran warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Warga yang sudah lama bermukim di Pulau Rempang akan direlokasi di daerah lain untuk mensukseskan pembangunan kawasan Eco City. Relokasi warga karena Pulau Rempang diproyeksikan sebagai kawasan industri, perdagangan dan pariwisata.
Realisasi proyek strategis nasional di kawasan eco city memperoleh penolakan dari warga bertempat tinggal di 16 Kampung Tua berasal dari Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Daratan. Mereka sudah berada di Pulau Rempang sejak tahun 1834.
Ternyata penentangan dari ribuan warga yang tinggal di Pula Rempang direspon dengan tindakan represif dari aparat keamanan. Bahkan anak-anak dan ibu rumah tangga menjadi korban, terkena semprotan gas air mata bertujuan membubarkan massa pengunjuk rasa.
Penolakan warga dimaklumi karena mendiami dan mendulang penghasilan di Pulau Rempang dari generasi ke generasi. Mereka mengais rezeki di Pulau tersebut dengan mengolah hasil hutan dan mencari sumber daya di laut.
Sedang di tempat relokasi belum ada kepastian masa depan. Belum ada jaminan di lokasi baru memperoleh penghasilan dengan layak. Di lokasi baru bisa saja menjerumuskan mereka jatuh miskin.
Belajar dari beragam kasus mengenai penolakan warga terhadap pengembangan proyek atas nama pembangunan yang mempunyai nilai ekonomi. Sesungguhnya bukan tindakan makar. Bukan melawan kebijakan pemerintah.
Mereka berani menentang karena di tempat selama ini tinggal secara antropologis memiliki tradisi, adat istiadat dan budaya tersendiri. Secara sosiologis mereka ingin tetap tinggal dilatarbelakangi interaksi sosial kuat antar warga. Penuh kekeluargaan.
Secara psikologis mereka memiliki sejarah panjang menjalani kehidupan dengan berbagai rintangan, suka, dan duka. Kondisi ini membikin warga terikat secara batiniah merasa nyaman bertempat tinggal di wilayah tertentu.
Sehingga bagi warga mempertahankan lahan dari penggusuran oleh aparatur negara bersinggungan dengan hajat hidup. Bila tergusur. Sebagai dampak pembangunan proyek strategis akan kehilangan akar kultural, memudarnya rasa kekeluargaan, tercerabut dari histori perjalanan kehidupan dan kecemasan terhadap masa depan.
Kenyataan ini yang membuat warga memberanikan diri melawan penggusuran terhadap lahan miliknya oleh penguasa.
***
*) Oleh: Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |