TIMES BOGOR, JAKARTA – Pemilihan umum sebagai sarana ekspresi kedaulatan rakyat merupakan hajat demokrasi yang seharusnya dijalani dengan riang gembira.
Pengalaman kontestasi politik di tahun 2019 dengan porak porandanya persatuan bangsa kita diguncang benturan politik identitas yang hingga kini lukanya masih terasa. Gelombang besar disinformasi menyumbang amunisi pertikaian di ruang-ruang digital.
Bagaikan bom yang menghantarkan efek domino. Rasa nasionalisme kita di retakkan oleh perbedaan-perbedaan yang sejatinya sudah selesai jauh sebelum Indonesia merdeka. Mungkinkah terlupakan bahwa bangsa ini memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”.
Kemajemukan bangsa kita berpadu melalui Kesatuan Nasib Sepenanggungan, Kesatuan Kebudayaan, dan Kesatuan Proses Sejarah. Di pojok-pojok warung kopi ada banyak teori dan asumsi yang ingin menyibak misteri politisasi sara dalam kontestasi politik lima tahunan ini.
Ada yang bilang politisasi sara yang terjadi adalah strategi politik yang diadopsi dari pemilu di Amerika. Ada juga yang berteori terdapat penumpang gelap di suatu kubu politik yang sengaja mengorganisir diri karena tak ingin NKRI tetap utuh. Namun tentu obrolan warung kopi itu masih harus diuji kebenarannya.
Identitas Politik Sebelum jauh membicarakan politik identitas kita terlebih dahulu harus memahami apakah politik identitas dan identitas politik merupakan dua hal yang sama.
Identitas politik dan politik identitas harus dapat kita bedakan agar tidak terjadi salah kaprah dalam menafsirkannya. Identitas politik adalah hal yang dimiliki oleh setiap orang, setiap kelompok, setiap partai.
Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr. Endang Sulastri memaparkan Identitas politik memiliki konstruksi untuk menentukan ikatan komunitas politik.
Sedangkan politik identitas mengacu pada gerakan politik yang mengacu pada pembedaan sebagai kategori politik yang pertama.
Dalam politik identitas ada pemberian garis tegas dimana posisi saya, siapa saya, untuk siapa saya berjuang, apa yang membedakan saya atau kelompok saya dengan yang lain, kelompok mana yang perlu diperjuangkan.
Selanjutnya Dr. Endang Sulastri juga menjelaskan bahwa politik identitas juga diperlukan dalam perjuangan politik namun dengan catatan tidak bersifat inklusif yang kemudian menapikkan yang lain serta berdasarkan politik Identitas itu dibenarkan sesuatu yang salah.
Artinya pada mulanya politik identitas merupakan hal yang lumrah ada dalam perjalanan perjuangan politik karena merupakan ekspresi dari identitas politik. Namun dengan catatan politik identitas ini dalam koridor yang wajar dan lurus.
Artinya saat politik identitas ini diperalat untuk menempuh strategi politik yang merugikan individu lain, kelompok lain, partai lainnya hingga memicu pertikaian antar kelompok maka yang demikian menjadi jalan politik yang tidak sah.
Jika kita Tarik ke kondisi faktual saat ini, politik Identitas menjadi momok yang menakutkan karena dipergunakan dengan cara-cara tidak bertanggung jawab.
Ada dimensi ketersinggungan yang ditonjolkan untuk mengikat arah dukungan konstituen. Sehingga akal sehat untuk mencerna visi, misi, program dari kandidat politik cenderung tidak dikedepankan.
Tak ada definisi yang pasti tentang politik identitas namun pada perkembangannya kini politik identitas amat berbahaya mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Profesor Mahfud MD guru Besar Hukum tata Negara UII menyebutkan politik identitas merupakan politik yang didasarkan pada upaya menghegemoni kekuasaan melalui identitas primordial sehingga kondisi politik yang seperti itu tidak sesuai dengan bangsa Indonesia yang heterogen.
Payung Hukum
Keresahan dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan di tahun 2024 belum bisa mereda, dikarenakan hari ini kita masih memakai regulasi yang sama seperti pemilu dan pilkada sebelumnya.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang pada saat pandemi diubah menjadi Perpu Nomor 2 Tahun 2020 adalah payung hukum yang digunakan dalam perhelatan pesta demokrasi terbesar di dunia.
Jika kita bedah regulasi pemilu kita akan temukan konsep larangan politik identitas pada pasal 280 huruf (c) dan huruf (d). “Pasal 280 (1) Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: c. Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan atau peserta pemilu yang lain; d. Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
Sementara dalam UU Pilkada larangan politik identitas terdapat dalam pasal 69 yang berbunyi “dalam kampanye dilarang: b. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan calon Gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon walikota, calon wakil walikota, dan atau partai politik; c. melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan atau kelompok masyarakat;.
Sayangnya dalam dua Undang-Undang yang saat ini kita miliki belum mampu memproteksi ancaman politisasi sara sebagaimana terjadi di 2019.
Subjek hukumnya masih terbatas pada aktor pemilu, objek perbuatannya pun belum mampu menjerat perbuatan-perbuatan yang jelas menjadi ancaman nyata persatuan dan kesatuan bangsa.
Kondisi ini memaksa kita menelisik lebih dalam adakah regulasi yang mungkin bisa menjerat aktor jahat politik identitas. Jika perbuatannya terjadi dalam dunia digital kita memiliki UU ITE sebagai payung hukum dugaan pelanggaran perundangan-undangan lainnya.
Pasal 45 ayat (2) berbunyi “setiap orang dengan sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian, atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (2) dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu milyar).
Penulis juga mencoba menelaah regulasi lain kaitannya dengan larangan politisasi SARA atau politik identitas terdapat dalam KUHP baru atau UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 244 menyebutkan “Setiap Orang yang melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”.
Dari beberapa regulasi yang penulis rangkum tak ada yang benar-benar mengatur larangan politik identitas sebagaimana yang terjadi. Kekosongan hukum membuat pelaku politisasi identitas primordial sulit dijangkau, sehingga korban politik identitas pun tak mendapatkan perlindungan.
Kita hanya menemukan konsep yang mungkin dapat menjangkau politik identitas. Ini konsekuensi logis karena setelah bencana pluralitas lima tahun lalu kita masih menggunakan regulasi yang sama.
Padahal kejahatan politisasi SARA, hoaks dan black campaign menggunakan buzzer yang berada di ruang gelap dan mungkin saja terorganisir. Setidaknya kesadaran kolektif mengenai bahaya dari politisasi SARA yang mengkhawatirkan bisa kita pupuk bersama.
Rasa nasionalisme harus dikumandangkan dan menggaung mendoktrin publik. Kita perlu terus mengingat sejarah bagaimana bangsa ini bisa merdeka, persatuan bangsa lah yang bisa mengusir penjajah dari negeri ini.
Mari kita isi kemerdekaan dengan berdemokrasi yang riang dan gembira, berdemokrasi Pancasila sebagaimana yang telah lama kita pedomani.
***
*) Oleh: Firmawati, Divisi Hukum dan Advokasi Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |