TIMES BOGOR, MALANG – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Prof. Dr. Moh. Fadli, S.H., M.Hum., kembali melakukan riset penyelesaian sengketa melalui nilai kearifan lokal (local wisdom) di Indonesia. Riset terbarunya kali ini adalah soal lembaga adat Mukim di Aceh.
Bersama tim yang dipimpinnya, Prof Fadli, sapaannya, berupaya menggali bagaimana lembaga adat Mukim mampu menyelesaikan sengketa secara damai, efektif, dan berbasis nilai-nilai kearifan lokal.
"Selain membaca sisi normatif dan praktik-empirikal dari penyelesaian sengketa, yang khas dari penelitian ini adalah upaya untuk menggali lebih dalam spirit dari semua itu," ungkap Guru Besar yang sangat gandrung dengan kajian nilai-nilai kearifan lokal ini, Senin (14/10/2024).
Didukung Hibah Guru Besar FH UB 2024 dan tiga anggota tim yakni Dr. Ngesti Dwi Prasetyo, S.H., M.Hum., Dr. (c). Siti Rohmah, S.H.I., M.H.I. dan Dr. (c). Airin Liemanto, S.H., LL.M., penelitian ini difokuskan pada lembaga adat Mukim yang ada pada Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
Sekadar informasi, beberapa tahun sebelumnya, penelitian serupa sudah dilakukan Prof Fadli dan timnya. Seperti di Masyarakat Adat Baduy; Suku Tengger; Suku Sasak Lombok; Suku Minangkabau di Batusangkar; Tenganan Pegringsingan Bali; Blandingan Bali; dan pedalaman Bengkulu.
"Luaran riset tersebut telah publish di beberapa jurnal bereputasi internasional (Scopus/WoS)," ungkap Prof Fadli.
Penyelesaian Sengketa di Lembaga Adat Mukim
Pendekatan hukum adat di Aceh menawarkan solusi yang berbeda dibandingkan dengan sistem peradilan formal. Lembaga adat Mukim, yang telah ada sejak era Sultan Iskandar Muda, menawarkan penyelesaian yang lebih damai dan murah.
"Objek penyelesaian sengketa yang merupakan fokus riset kali ini memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, karena tidak terdapat di daerah lain," kata Prof Fadli saat bicara pada FGD (Focus Group Discussion) yang dihadiri oleh 11 pimpinan Mukim se Aceh Besar dan Kota Banda Aceh.
Tampak hadir dalam diskusi kelompok terfokus tersebut: Asnawi Zainun (Mantan Imeum Mukim Siem/Ketua MAA Aceh Besar); Nasruddin Hasan (Tokoh Masyarakat Kemukiman Lamkuta, Banda Aceh/Ketua Dewan Penasehat Geuthee Institute); Sudirman M. Nasir (Imeum Mukim Kueh, Aceh Besar); H. Mukhtar Idris (Sekretaris Mukim Ulèe Kareng, Aceh Besar).
Hadir juga Teuku Nasa'i (Imeum Mukim Lampanah, Aceh Besar); Teuku Aminullah (Tuha Peut Mukim Seulimeum, Aceh Besar); Marzuki Muhammad (Imeum Mukim Siem, Aceh Besar); H. Ansari Yahya (Imeum Mukim Tgk. Chiek Lamjabat, Banda Aceh); Ir. Khairen (Imeum Mukim Lamlhom, Aceh Besar); H. Ismail Is (Imeum Mukim Kayèe Adang); dan Teuku Saiful Banta, M. Si. (Imeum Mukim Putroë Phang.
"Ada beberapa pimpinan mukim yang berhalangan hadir karena di sekitar daerah lokasi FGD saat acara, hujan deras," ungkap Prof Fadli.
Moderator FGD Dr. Mustafa Lutfi, SH, MH. yang mengarahkan diskusi saat itu, membawa suasana jadi dinamis saat dua narasumber ikut bicara dan memberi pandangannya. Yakni akademisi dari FH Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Mahfud, S.H., LL.M dan Dr. Liza Agnesta Krisna, S.H., M.H. Dosen FH Universitas Samudra Langsa.
"Kedua akademisi tersebut mengulas peran vital Imam Mukim dan Majelis Adat Aceh (MAA) dalam mengatasi persoalan konflik yang terjadi di wilayah mukim. Sehingga penguatan Lembaga Adat di Aceh merupakan suatu keniscayaan," katanya.
Meski ada pergeseran nilai-nilai seiring perkembangan zaman, legal exsisting Qonun yang sudah ada sejak era Sultan Iskandar Muda pada abad ke-15, menyebut secara eksplisit tentang mukim menjadi dasar pijakan bagi masyarakat Aceh.
Hal senada dibenarkan oleh Asnawi Zainun, yang pernah didapuk sebagai Imeum Mukim Siem/Ketua MAA Aceh Besar, selama 10 tahun. Dia menerangkan secara gamblang beberapa potret kasus di wilayahnya seperti soal waris, batas mukim dan persoalan lain yang pernah dialaminya. Dia mengaku, berhasil menyelesaikan dengan cara yang arif dan damai penuh kekeluargaan.
Akan halnya H. Mukhtar Idris sebagai Sekretaris Mukim Ulèe Kareng. Dia menyontohkan kasus yang berbeda, bahwa keberadaan Imam Mukim betul-betul dianggap sebagai orang tua dan dihormati. Misalnya penyelesaian sengketa di pengadilan dengan pendekatan hukum positif tentu berbiaya mahal sedangkan jika berbasis pada hukum adat jauh sangat murah dan setelah itu damai.
Pernyataan Mukhtar Idris tersebut juga diperkuat oleh pernyataan Marzuki Muhammad yang saat ini dipercaya sebagai Imeum Mukim Siem, Aceh Besar.
Contoh lain, Mukhtar Idris menambahkan, ada pula cara-cara penyelesaian sengketa yang tidak perlu dibawa ke ranah pidana. Cukup diselesaikan di ranah mukim, dengan istilah "uang hormat" yang seluruhnya merupakan bentuk kesepakatan secara ikhlas untuk memaafkan dan berdamai.
"Hal inilah yang menjadi khazanah dari kekuatan nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa ini dan diwarisi secara turun temurun oleh para leluhur di Aceh dalam menyelesaikan persoalan secara musyawarah menjadi jalan keluar yang damai, beradab dan memanusiakan," kata Prof Fadli.
Penyelesaian sengketa adat tersebut sangat kontras ketika melihat kasus-kasus penyelesaian sengketa yang ditangani oleh para penegak hukum formal melalui lembaga pengadilan. Terkadang, ada sengketa yang sudah diputus namun kedua belah pihak masih memendam api dendam dan amarah, sehingga potensi konflik tersebut tidak berkesudahan.
FGD yang berlangsung hampir 3 jam itu berjalan gayeng, terbuka, dan menyenangkan. Meski diskusi sudah usai, namun peserta masih terus ngobrol. Prof Fadli yang sudah 3 kali meneliti di Aceh ini mengaku sangat puas.
Entah masyarakat mana lagi yang hendak diteliti. Profesor yang ingin memahami hukum secara utuh (dari optik agama, hukum nasional dan hukum adat) ini rupanya memang haus ilmu, hingga rela menempuh perjalanan berjam-jam hanya demi ilmu. Usia dan pangkat IV-e, rupanya tak menghalanginya untuk terus belajar.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Guru Besar FH UB Telisik Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Adat Mukim di Aceh
Pewarta | : Faizal R Arief |
Editor | : Faizal R Arief |