TIMES BOGOR, MALANG – Ekspedisi Indonesia Baru merupakan perjalanan epik yang dilakukan oleh empat individu lintas generasi, menempuh perjalanan keliling Indonesia selama 424 hari dengan sepeda motor.
Tim ini terdiri dari empat jurnalis lintas generasi Farid Gaban (generasi Boomer), Dandhy Laksono (generasi X), Yusuf Priambodo (generasi Y), dan Benaya Harobu (generasi Z). Ekspedisi yang dimulai dari Desa Sigempol di kawasan Pegunungan Dieng, Jawa Tengah ini, akhirnya mencapai garis akhir di tempat yang sama pada 28 Agustus 2023, menandai selesainya misi eksplorasi mereka yang mengesankan.
Benaya Harobu, videografer tim Ekspedisi Indonesia Baru. (FOTO: Dok Ekspedisi Indonesia Baru)
TIMES Indonesia berkesempatan melakukan wawancara dengan salah satu anggota tim Ekspedisi Indonesia Baru, Benaya Harobu.
Bisa Anda ceritakan kepada kami apa itu Ekspedisi Indonesia Baru dan bagaimana Anda terlibat dalam program ini?
Ekspedisi Indonesia Baru adalah perjalanan yang diinisiasi oleh dua orang jurnalis; Farid Gaban (61) dan Dandhy Laksono(47). Tahun 2022 dengan dana tabungannya mereka mengajak saya (Benaya Harobu, 22 tahun) dan Yusuf Priambodo (30) untuk ikut berkeliling Indonesia. Perjalanan ini bukan saja sekadar menonjolkan aspek perjalanannya, tetapi juga merekam Indonesia dari berbagai sisi.
Tim Ekspedisi Indonesia Baru menjelajah Nusantara selama 424 hari dengan sepeda motor. (FOTO: Dok Ekspedisi Indonesia Baru)
Sedikit kilas balik, saya yang saat itu tengah bekerja sebagai jurnalis televisi di Agropolitan TV di Batu, Jawa Timur. Tapi saya merasa ingin menambah pengalaman lebih banyak dari segi interaksi bersama sosial dan lingkungan. Kemudian kesempatan untuk berkeliling Indonesia ini datang ketika saya diterima menjadi bagian Ekspedisi Indonesia Baru dan saya langsung menggapainya. Karena saya merasa ini kesempatan yang mungkin tidak akan datang seumur hidup saya.
Dalam prosesnya, saya waktu ikut melalui seleksi yang cukup ketat untuk ikut terlibat dalam perjalanan ini. Ada sekitar 47 pendaftar yang mengirimkan esainya sebagai seleksi tahap awal. Saya kemudian lulus di 10 besar, dan tersisa 4 orang yang masuk ke seleksi selanjutnya setelah melewati seleksi wawancara. Hingga akhirnya saya dan Yusuf yang terpilih untuk ikut dalam perjalanan ini.
Apa visi dan misi utama dari Ekspedisi Indonesia Baru? Apa yang ingin Anda capai melalui program ini?
Perjalanan ini memiliki misi merekam mimpi warga negara tentang Indonesia, memaknai ulang Bhinneka Tunggal Ika, dan merangkai simpul-simpul komunitas yang memiliki mimpi-mimpi baru tentang Indonesia.
Benaya Harobu, videografer tim Ekspedisi Indonesia Baru. (FOTO: dok Ekspedisi Indonesia Baru)
Sederhananya, Ekspedisi Indonesia Baru ingin semua orang mengenal Indonesia dengan baik. Banyak hal-hal romantis soal Indonesia yang sering kita baca dan tonton di medsos kita, tetapi faktanya ada banyak sisi Indonesia yang luput dari pemberitaan dan diskursus kita.
Ekspedisi ini melibatkan banyak wartawan dari berbagai latar belakang. Bagaimana Anda melihat peran wartawan dalam program ini dan apa yang membedakan Ekspedisi Indonesia Baru dari inisiatif serupa lainnya?
Benar, kami wartawan dari berbagai latar belakang medium. Bagi saya, wartawan punya peran yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan hidup dalam aspek bernegara. Kita tahu soal kebenarannya, ada yang tak berani mengungkapkan, ada juga yang sengaja tak menayangkan itu karena masalah-masalah internal media, dll. Tapi kami memilih untuk selalu jujur mengatakan apa yang kami lihat.
Barangkali yang membedakan dengan inisiatif lainnya adalah, kami di Ekspedisi Indonesia Baru selalu memihak dan tak netral dalam menayangkan informasi. Kami memihak pada kebenaran.
Salah satu fokus dari ekspedisi ini adalah menjelajahi wilayah-wilayah yang jarang terekspos. Apa saja kriteria yang digunakan dalam memilih lokasi yang akan dijelajahi?
Sebelum memulai perjalanan sekitar satu minggu kami berdiskusi di Dieng, Jawa Tengah. Kami banyak sekali membahas dan meriset apa saja yang isu yang paling banyak dikeluhkan oleh masyarakat di lokasi itu. Sebagai contoh, ketika kami tiba di Bima, Nusa Tenggara Barat di akhir tahun 2022 banyak warga yang mengeluhkan akses air bersih, dan masalah kekeringan. Saat itu juga kamera kami nyalakan.
Selama perjalanan, Anda tentu bertemu dengan berbagai komunitas dan individu. Bisakah Anda berbagi cerita atau pengalaman menarik yang Anda temui sejauh ini?
Komunitas yang paling berkesan saat itu saya jumpai di Kalimantan Barat, tepatnya di Kabupaten Sintang. Saya takjub bagaimana warga di sana mengelola koperasi dengan hampir 200 ribuan anggotanya dengan asetnya sudah mencapai 1,5 triliun.
Di sana mereka juga membangun sekolah hingga kampus dan menyediakan lapangan kerja bagi semua anggota koperasi yang telah menamatkan sekolahnya. Dan semua lapangan kerja ini di kelola oleh koperasi mulai dari; hotel, kawasan pariwisata, demplot, hingga credit union, bahkan kini mereka sudah punya mesin ATM sendiri.
Tapi yang paling bikin saya selalu tersenyum adalah, ketika mereka memutuskan untuk membeli 100 hektar hutan dan membiarkannya tetap asri. Hutan ini kemudian yang memberi ruang hidup satwa seperti kelempiau atau yang familiar dengan owa.
Sejalan dengan ini, saya juga menjumpai sosok inspiratif dari Papua. Namanya Alex Waisimon. Dia yang jenuh dengan kehidupan pariwisata di Bali, memutuskan untuk pulang ke kampungnya di Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura.
Alex mengajak semua masyarakat adat di sana untuk merawat hutan dan mendirikan pos-pos birdwatching untuk burung-burung yang fenomenal seperti cenderawasih. Dan tentu saja ini menarik minat wisatwan asing untuk berkunjung dan memotret di hutan itu. Hingga kini, Alex telah banyak memberi banyak lapangan kerja bagi anak-anak muda di daerah. Mereka memilih bekerja tanpa membangun apalagi merusak hutan.
Bagaimana Anda mendokumentasikan perjalanan ini dan apa yang menjadi fokus utama dalam setiap publikasi yang dihasilkan?
Sebagian besar perjalanan ini menghasilkan banyak dokumenter dan serial perjalanan, kami juga sudah mengumpulkan sekitar 12.000 frame foto serta satu buku yang rencananya akan dirilis dalam tahun ini.
Sebagian besar film kami tayangkan ke YouTube dengan konsep “tiket sukarela”. Sama seperti bioskop pada umumnya, penonton harus membayar, bedanya adalah kami tidak mematok tarif untuk menonton. Ini juga yang membuat Koperasi Ekspedisi Indonesia Baru, tetap bisa melogistiki semua perjalanan kami dan kebutuhan di kantor.
Apa saja tantangan terbesar yang Anda hadapi selama menjalankan ekspedisi ini, baik dari segi teknis maupun non-teknis?
Salah satu kendala teknis saya adalah menyesuaikan barang bawaan yang saya bawa selama 424 hari ini, harus muat dalam satu motor bebek. Selain karena masalah keamanan, saya juga harus berdamai dengan suhu dan cuaca.
Sementara kendala non-teknis juga yang kerap terjadi adalah, membagi waktu untuk pekerjaan teknis lainnya seperti mengambil gambar dan mengedit dengan membagi waktu untuk melakukan riset-riset tema liputan sepanjang perjalanan.
Dalam jangka panjang, apa yang menjadi tujuan akhir dari Ekspedisi Indonesia Baru? Apakah ada rencana untuk memperluas cakupan atau mungkin mengembangkan program-program baru?
Dalam jangka panjang, kalau tak berlebihan kami ingin konten-konten yang kami produksi tetap menjadi bahan diskursus bagi semua orang tanpa memandang kalangan atau jabatan. Selain itu, dari simpul-simpul komunitas yang telah kami datangi dapat menjadi inspirasi bagi siapapun yang menonton dan melihat konten kami.
Sementara untuk tahun ini, kami tak banyak memikirkan untuk membuat program-program baru selain menyelesaikan semua pekerjaan. Masih ada 18 terabyte video yang harus diedit dan dirumuskan naskah ceritanya.
Bahan-bahan ini selain memenuhi konten serial perjalanan, juga kami bagikan secara offline di beberapa lokasi yang ingin menjadi penyelenggara untuk mendiskusikan isu yang telah kami temui sepanjang perjalanan.
Bagaimana masyarakat umum dapat terlibat atau mendukung program ini? Apakah ada cara bagi publik untuk ikut serta dalam ekspedisi atau mendukungnya secara finansial atau dalam bentuk lainnya?
Kami selalu berupaya menemukan alternatif baru yang menghubungkan kami dengan publik. Tapi yang paling dekat dengan kami adalah penonton-penonton tayangan kami di YouTube Indonesia Baru. Hingga kini, selain memberikan dukungan secara moral, mereka juga mendukung perjalanan ini dengan tiket sukarela.
Cacatan redaksi: Tim Ekspedisi Indonesia Baru telah menghasilkan tujuh film dokumenter. Tujuh film tersebut adalah Silat Tani, Angin Timur, Tanah Tabi, Base Genep, The Soulmates, Dragon for Sale dan Barang Panas. Film-film dokumenter ini kental dengan persoalan lingkungan, sosial masyarakat, dan hak asasi manusia.
Setiap perjalanan tentu membawa tantangan logistik. Bagaimana Anda mengatasi logistik di daerah-daerah yang sulit dijangkau?
Kali ini saya benar-benar harus bisa berdaptasi dengan keadaan sekitar. Masalah logistik pelan-pelan saya bisa atasi, meskipun di awal-awal perjalanan saya sempat jatuh sakit karena tidak cocok dengan makanan dengan suatu wilayah. Berjalannya waktu, saya bisa makan dan minum apapun yang ditawarkan oleh warga kepada saya, serta bisa tidur dan bekerja saat berada di atas kapal, dipan rumah warga, maupun trotoar jalanan.
Apakah ada kolaborasi dengan pemerintah daerah atau lembaga lain selama ekspedisi berlangsung? Jika ya, bagaimana bentuk kolaborasi tersebut?
Kami pernah berkolaborasi dengan beberapa pemerintah daerah. Saat warga Trenggalek tercancam pembukaan tambang emas terbesar di Jawa, Bupati Trenggalek mengajak kami bertemu dan diizinkan merekam aspirasinya yang juga ikut menolak tambang ema situ. Ada juga pemerintah daerah di Kabupaten Lumajang yang resah dengan kehadiran ritel modern yang dianggap dapat mematikan ekonomi lokal seperti warung kelontong.
Hingga terjauh, kami berkolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Jayapura untuk membuat sebuah dokumenter investigasi panjang tentang hilangnya hutan dan adat di Papua. Kami setuju untuk berkolaborasi dengan siapa saja selama masih berada dalam misi yang sama.
Apa strategi Anda dalam menjaga keberlanjutan ekspedisi ini agar tetap berjalan di masa depan?
Di masa depan saya membayangkan setiap orang dapat melakukan riset kecil-kecilan di daerahnya masing-masing. Membuat liputan dan saling bertukar informasi dengan daerah lainnya. Sehingga pendidikan publik dapat dibentuk dari informasi yang dibaca dan ditonton. Barangkali setelah ini saya akan ikut menabung dan merencanakan ekspedisi dengan setiap anak-anak muda yang saya jumpai di setiap daerah.
Bagaimana Anda memastikan bahwa dokumentasi yang dihasilkan dapat diakses oleh masyarakat luas dan memiliki dampak jangka panjang?
Platform digital adalah jawaban paling jelas saat ini. Ada 221 juta orang di Indonesia saat ini yang menggunakan internet dan tersebar di seluruh Indonesia. 75 jutanya adalah Generasi Z, tentu ini adalah tantangan juga bagi saya sebagai Gen Z bagaimana informasi yang dianggap keras ini dapat dimengerti oleh setiap generasi.
Apa yang paling Anda harapkan dapat diambil oleh pembaca atau penonton dari hasil dokumentasi Ekspedisi Indonesia Baru?
Dari 12 ribu frame foto, 18 terabyte video, saya sangat ingin hasil dokumentasi ini ditampilkan di sekolah-sekolah di kota hingga di pedesaan. Kalau logistiknya mencukupi saya sangat mau membuat perpustakaan audio-visual atau kamus audio-visual.
Bisakah Anda berbicara tentang peran teknologi dalam mendukung ekspedisi ini, misalnya dalam hal dokumentasi, komunikasi, atau navigasi?
75 Persen rute pada perjalanan ini didukung oleh teknologi seperti maps online. Tanpa ini mungkin perjalanan kami akan lebih dari 424 hari, karena sibuk mencari jalan yang benar menuju lokasi-lokasi liputan. Selain itu, perangkat seperti handphone benar-benar membatu saya untuk mengambil gambar secara cepat bila dibutuhkan. Perangkat ini juga yang membatu saya melakukan banyak riset secara mandiri, selama masih ada internet. Bila tak ada, maka bertanya adalah andalan saya dan tim.
Selama perjalanan, apakah ada pengalaman yang mengubah pandangan atau pemahaman Anda tentang Indonesia?
Ada, selama ini saya berpikir bahwa Indonesia adalah negara yang sangat menghargai keberagaman budaya dan alam. Tapi sepanjang perjalanan, mata saya perlahan terbuka dan was-was jika ini semua pelan-pelan mulai hilang karena tidak dirawat dengan baik oleh pemerintah.
Indonesia terlalu luas untuk hanya diatur dari Jakarta, meskipun ada kebijakan-kebijakan seperti otonomi khusus dan otonomi daerah, tetap tak bisa mencengah kepunahan-kepunahan tadi. Kita masih terus berjalan menuju ke sana, barangkali kita di kota tidak menyadari ini karena tak terdampak langsung.
Tapi, bagi warga suku Bajo di pedalaman Morombo, Sulawesi Tenggara, mereka menyaksikan “kiamat” di depan mata. Akses pendidikan, sumber mata pencarian, budaya, pangan, semua dihabisi dengan ambisi pemerintah di Jakarta yang ingin mewujudukan hilirisasi nikel. Dan tempat-tempat seperti ini banyak saya jumpai ketika berkeliling.
Bagaimana Anda melihat potensi wisata dari lokasi-lokasi yang dikunjungi? Apakah ada upaya untuk mempromosikan pariwisata di wilayah-wilayah tersebut?
Indonesia punya banyak sekali potensi wisata yang bisa dikembangkan. Khususnya pariwisata yang berbasis komunitas. Seperti ketika saya tiba di Pulau Papagarang, Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar warga di sana adalah nelayan, tapi kehidupan ekonomi mereka juga dibantu dengan turis yang datang dan ingin mencari aspek budaya di wisata itu.
Tragedinya banyak sekali tempat pariwisata yang tak lagi menawarkan aspek budaya. Sebagai contoh, ketika saya ikut open trip 3 hari 3 malam menyusuri perairan Pulau Komodo, saya naik kapal open deck atau kapal lokal milik warga, malam harinya saya tidur dan makan bersama warga. Setiap hari begitu, dan banyak mendapat cerita menarik dari warga lokal.
Berbeda dengan kawan saya, Yusuf ketika naik kapal pinisi. Pinisi adalah milik hotel di Labuan Bajo. Sepanjang hari turis pinisi hanya bisa beraktivitas di sekitar kapal; snorkeling, berselfie, karaoke, dll. Sementara mereka tak mengenal tempat yang mereka datangi.
Bagaimana Anda menjaga semangat dan motivasi tim selama perjalanan panjang ini?
Ini memang menjadi tantangan tersendiri. Kami berempat belum terlalu saling mengenal satu sama lain, dan mau tak mau harus makan, tidur, dan setiap hari melihat wajah yang sama selama 424 hari.
Di awal perjalanan kami sudah berjanji, bahwa selama 1 tahun ke depan kita akan menjadi keluarga. Barangkali kalimat ini yang terus terngiang di benak saya sampai hari ini. Kita mungkin boleh marah dan kesal dengan keluarga kita, tapi kita tetap tak bisa lari dari ikatan yang sudah dibuat.
Kami selalu saling mendukung selama ini, jika ada yang tak sanggup melanjutkan perjalanan, maka kami akan menunggu salah satu anggota sampai benar-benar siap secara metal dan fisik untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah ekspedisi ini selesai, apakah ada rencana untuk menyusun laporan akhir atau publikasi yang merangkum seluruh perjalanan dan temuan-temuan penting?
Ada. Saat ini kami membuat program yang bernama Unboxing Keliling Indonesia. Jadi setiap hasil perjalanan yang kami temui, kami rangkum dalam acara Unboxing itu. Siapapun yang mengundang, selama logistik perjalanan aman, biasanya kami akan menyambangi lokasi tersebut.
Selain itu, kami juga mengemas Unboxing ini melalui tontonan di YouTube Indonesia Baru. Di tahun ini kami juga akan merilis buku yang bagi sendiri adalah magnum opus dari perjalanan ini, bukunya kami beri judul “Restart Indonesia”. Semoga lekas kelar bukunya.
Terakhir, apa harapan Anda terhadap dampak dari Ekspedisi Indonesia Baru terhadap kesadaran publik mengenai keberagaman, kekayaan Indonesia, dan masalah sosial yang ada?
Harapan saya, semoga publik dapat banyak belajar dari cerita dan pengalaman yang kami dapatkan sepanjang perjalanan ini. Banyak kekayaan Indonesia yang kami rekam, juga tak sedikit merekam masalah-masalahnya.
Kami tahu bahwa pengambil kebijakan tertinggi ada di pemerintah. Mereka inilah yang dipercayai warga untuk mengelola negara ini. Tapi setiap pembangunan yang digenjot tak pernah didiskusikan kepada publik. Ada banyak masalah dari rural hingga urban. Kami benar-benar ingin melibatkan siapa saja untuk terlibat dalam diskursus soal Indonesia dari berbagai aspeknya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Ekspedisi Indonesia Baru, Kisah Empat Jurnalis Membingkai Nusantara
Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |