TIMES BOGOR, BOGOR –
Peran jurnalis mengalami perubahan besar di era digital.
Dari sekadar penyampai fakta, jurnalis kini dituntut menjadi sense maker—narator yang memberikan makna dan konteks atas sebuah peristiwa.
Adaptasi ini menjadi kunci agar media massa tradisional tetap relevan.
Transformasi tersebut menjadi sorotan dalam diskusi bertajuk “Dua Gaya Jurnalisme dan Masa Depan Jurnalisme” di Learning Center Gunung Geulis, Bogor, Jumat (12/12/2025).
Sesi ini menghadirkan dua tokoh media senior yakni Rory Asyari dan Jeremy Teti.
Media Tradisional dan Tantangan Kecepatan Era Digital
Jurnalis senior Rory Asyari menegaskan bahwa media tradisional tidak bisa lagi mengandalkan model lama.
Perpindahan ke ranah digital merupakan keharusan, terlebih persaingan makin ketat dengan media sosial.
"Hampir tiap saat, TV dan media-media lain kebobolan terus oleh media sosial. Sekarang orang bisa menjadi media mereka sendiri," ujar Rory.
Ia menekankan bahwa perbedaan utama antara jurnalis profesional dan citizen journalist terletak pada verifikasi, integritas, dan kedalaman liputan.
Menurut Rory, straight news tidak lagi cukup karena informasi mentah dapat dikalahkan oleh kecepatan AI.
"Jurnalis harus mampu memberikan makna dan narasi," jelasnya.
Rory mencontohkan: saat harga BBM naik, jurnalis seharusnya mampu menjelaskan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan—sesuatu yang tidak bisa dilakukan AI secara utuh.
Ia menegaskan bahwa AI mestinya menjadi asisten, bukan saingan bagi jurnalis.
Pengalaman Lapangan: Kisah Ekstrem Jeremy Teti
Sementara itu, Jeremy Teti, reporter veteran yang meliput berbagai peristiwa besar antara 1998 hingga 2010, membagikan pengalaman ekstrem selama bertugas.
Ia menggambarkan masa ketika mikrofon adalah “senjata” utama reporter.
Pengalaman paling mencekam yang ia alami terjadi saat Kerusuhan Mei 1998 dan Timor Leste 1999.
"Saya terpaksa bersembunyi di gorong-gorong bersama kameramen karena peluru berterbangan. Dan saya menyaksikan langsung pembakaran ratusan mobil," ungkapnya.
Dalam liputan Timor Leste, Jeremy menjadi satu-satunya reporter televisi Indonesia yang melakukan live report selama dua minggu.
Karena belum ada teknologi wireless, ia harus menarik kabel sepanjang 300 meter demi mendapatkan sudut pandang terbaik.
Momen paling menegangkan adalah ketika ia menjadi target dan harus dievakuasi oleh 30 personel Brimob demi keselamatannya.
Arah Baru Jurnalisme: Kedalaman, Makna, dan Ketahanan Mental
Dari paparan kedua narasumber, terlihat jelas bahwa dunia jurnalisme telah bergeser.
Dari kecepatan menuju kedalaman. Dari sekadar fakta menuju makna dan konteks. Dari sekadar menyampaikan menuju menjelaskan. Dari ketergantungan teknologi menuju pemanfaatan AI sebagai alat bantu. Dari kenyamanan ruang redaksi menuju ketahanan mental dan fisik di lapangan.
Perubahan ini menegaskan bahwa jurnalis masa kini harus adaptif, analitis, dan tetap berpegang pada integritas untuk menjaga kepercayaan publik. (*)
| Pewarta | : M Abdul Basid |
| Editor | : Dody Bayu Prasetyo |