TIMES BOGOR, KEDIRI – Isu komersialisasi pendidikan, sudah lazim kita dengar walaupun sempat menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Kontroversi seputar komersialisasi pendidikan lebih mengacu kepada idealisasi cita-cita pendidikan yang diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Idealisasi pendidikan sejatinya diharapkan menjadi sebuah lembaga untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan prinsip keadilan sosial. Jargon ini menjadi peluru yang siap dilesatkan kepada lembaga-lembaga pendidikan yang bertarif mahal (komersialisasi). Namun demikian, data membuktikan justru lembaga-lembaga pendidikan yang bertarif mahal, semakin diminati oleh mayoritas masyarakat. Mengapa demikian?
Adalah Alifiani Purwaningrum dan Muhamad Rifa’i Subhi dosen di UIN Abdurrahman Wahid Pekalongan dalam penelitiannya (2023) menyimpulkan bahwa tidak ditemukannya dampak negatif dari adanya komersialisasi pendidikan, walaupun keduanya memaparkan pendapat Friedman dan Van Hayek yang mengatakan bahwa komersialisasi pendidikan mencerminkan kebutuhan masyarakat industri dan preferensi pasar, atau dalam istilah lain pendidikan yang berorientasi pasar (market oriented).
Kedua peneliti muda asal UIN AW Pekalongan tersebut menyimpulkan bahwa komersialisasi pendidikan tidak bisa dipandang sebelah mata bahwa isu tersebut hanya akan mencederai dunia pendidikan dan melukai hati masyarakat yang tidak mampu.
Ada empat kesimpulan yang mereka tawarkan dalam isu komersialisasi pendidikan: Pertama, bisa mengurangi beban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan, sehingga dana tersebut bisa dialokasikan ke sektor lain yang lebih memerlukan.
Kedua, memberi peluang kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga, lembaga pendidikan semakin kompetitif sehingga terjadi peningkatan fasilitas dan mutu pendidikan.
Keempat, gaji para pendidik (guru maupun dosen) dapat lebih ditingkatkan sehingga sehingga dapat memacu kinerja dan menghindari terjadinya brain drain (nerpindahnya tenaga pendidik profesional) yang menjadi momok dalam dunia pendidikan. Lalu bagaimana dengan komersialisasi Pesantren?
Pertanyaan semacam ini sebenarnya merupakan kembaran dari diksi komersialisasi pendidikan. Artinya semua pihak bebas mencari sisi negatif dari isu komersialisasi pesantren. Jika ditelusuri lebih jauh, kata komersialisasi pesantren lebih disebabkan oleh kekecewaan segelintir pihak yang memandang pesantren dari satu sisi yaitu sebuah lembaga yang bergaya tradisional yang diasosiasikan sebuah institusi yang an sich mengajarkan pendalaman kitab kuning.
Kelompok ini mendalihkan idealisasi model pesantren sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya “Minhajul Abidin”. Dalam kitab yang paling akhir oleh Hujjatul Islam itu disebutkan bahwa “keberadaan madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren merupakan benteng yang kokoh yang mampu menjaga anak didiknya dari para pencuri-pencuri (iman)”.
Jika mengacu pada idealisasi pendidikan pesantren ala Imam Ghazali, maka model pendidikan semacam itu, tentu tidak lagi memerlukan pranata dan fasilitas penunjang yang lain. Model pendidikan semacam ini sudah diterapkan oleh lembaga pendidikan dari zaman empat imam madzhab sampai awal-awal kemerdekan di Indonesia. Pranata yang diperlukan pun berupa pengajaran kitab kuning yang bisa dilakukan di masjid, kediaman kiai maupun di teras asrama.
Model pendidikan pesantren seperti ini sebagaimana yang disampaikan oleh Zamakhsari Dhafir dalam bukunya Tradisi Pesantren, disebutnya sebagai pesantren tradisional. Pemandangan pesantren semacam terlihat di zaman kyai Khalil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Sholeh Darat (Semarang).
Di awal-awal Kiai Kholil membuka pesantren di Demangan Bangkalan, santrinya masih dalam hitungan jemari. Ada Kiai Hasyim Asy’ari, kyai Hasan Genggong, kyai Manaf Lirboyo dan Kiai As’ad Situbondo. Pada zaman mereka berguru ke Kiai Khalil, mereka hanya mengaji sorogan di teras kediaman Kiai Khalil.
Keberlangsungan pendidikan model semacam ini hanya mengandalkan kekuatan fisik sang Kyai saja. Artinya, jika kyai berhalangan maka proses pendidikan diliburkan. Tempat belajar-pun hanya mengandalkan masjid dan kediaman kyai. Lalu bagaimana dengan pesantren di era globalisasi ini?
Pengalaman penulis sendiri yang memondokkan kelima anak di beberapa pesantren. Anak pertama mondok di pesantren kiai Hamid Pasuruan, anak kedua di Asy-Syadzili malang, anak ketiga di Nurul Jadid Paiton, keempat di Al-Amin Prenduan Sumenep dan yang terakhir di Sidogiri.
Biaya pendidikan di kelima pesantren yang penulis sebutkan, tentulah berbeda. Namun semuanya berbiaya sangat terjangkau. Pada saat bersamaan, sebenarnya penulis juga mendengar kalau di Malang, Surabaya maupun Mojokerto ada pesantren yang berbiaya di luar kemampuan penulis. Di sinilah rasionalitas berpikir kita dipertaruhkan.
Artinya, ketika kita ingin memondokkan anak ke pesantren yang di luar kemampuan budget kita, tentu kita tidak bisa memaksakan diri untuk memondokkan ke pesantren tersebut. Tentu akan bijak jika kita memilihkan pesantren yang sesuai dengan kondisi kantong kita dengan tetap menahan diri untuk memberikan label komersialisasi pendidikan di pesantren tertentu. Mengapa demikian?
Pertama, Sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan selama 7 tahun di pesantren Nurul Jadid Paiton, terngiang dalam pikiran untuk tidak berburuk sangka kepada pesantren manapun yang bertarif tidak bisa kita jangkau. Jika hal itu dilakukan, tentu kita sudah menjadi pribadi yang tidak terpuji.
Bagaimana besaran biaya di pesantren, penentuan biaya pendidikannya sudah melalui proses pertimbangan yang amat panjang oleh stakeholder yang ada di pesantren. Tentu atas keputusan yang dibuat oleh kyai, nyai dan para gus yang saya sangat tidak yakin melakukan komersialisasi pesantrennya.
Kedua, istilah komersialisasi pesantren sesungguhnya tidak akan muncul bagi mereka yang memahami arah dan visi dari sebuah pesantren, Artinya, ketika pesantren memiliki arah pengembangan ilmu agama dan teknologi, tentunya diperlukan pranata dan fasilitas pendukung yang memadai.
Di sinilah pesantren mengadaptasi biaya komponen pendidikan yang pada satu sisi “mungkin” tidak bisa dijangkau oleh sebagian masyarakat. Jadi, istilah komersialisasi pesantren adalah istilah yang “tidak terpuji” yang dilabelkan oleh mereka yang tidak memahami dunia pesantren.
Salah satu faktornya lebih disebabkan karena tidak pernah mengenyam dunia pesantren. Bagaimana solusinya? Mendesak pemerintah atau para sultan untuk membangun pesantren yang murah bahkan kalau bisa gratis. Itulah keunikan pesantren yang di dalamnya ada nilai keberkahan. (*)
***
*) Oleh: M. Ramly Syahir, Lc Mahasiswa Utusan PBNU Ke Irak Tahun 1992 dan Kandidat Doktor di IAIN Kediri.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Komersialisasi Pesantren, Terpujikah?
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |